Punahnya Tempat Bersejarah termakan Zaman Modern; Candi Badut


Punahnya Tempat Bersejarah termakan Zaman Modern; Candi Badut 
Oleh:  Muhammad Roji 

Candi Badut Saat ini.


Reruntuhan masa mengukir sejarah tua, berisi dongeng
Perjuangan  nan mengauk telinga penerus masa. Tapi
Seakan semuanya di lupakan dari memori waktu.
Orang-orang seakan berpura pikun dengan dongeng non fiktif itu
Padahal, apa yang meraka rasa saat ini, adalah  sejarah baru dari perjuangan.
Kembalilah,.. pada sejarah dimana kita di asalkan.



Jalanan yang sedikit membingungkan karena belum mengenal betul jalur jalan kota Malang, hingga bingung mencoba menghalangi perjalanan kami. Perjalanan menuju lokasi yang sadikit sulit di jangkau, kami harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam menuju tempat yang menyimpan sebuah sejarah yang sudah layu. Yaitu Candi Badut. Tempat yang menjadi tujuan utama kami untuk mengetahui sejarah lama yang terpendam dalam pengetahuan umum masyarakat Malang.
Setibanya di lokasi, kami melapor dulu dan mengisi buku tamu di pos penjagaan, yang hanya di huni oleh satu orang bapak yang berumuran separu baya. Dan beliau mempersilahkan kami untuk melakukan apa yang menjadi tujuan kami, yaitu observasi tempat bersejarah yang menjadi tugas mata kuliah bahasa Indonesia.
Sejarah
CANDI BADUT adalah salah satu tempat sejarah yang ada di Dusun Badut, Desa Karang Widoro, Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Candi ini memiliki hubungan dengan Dinasti Dinoyo (1 Kresnapaksa bulan Margasirsa tahun 682 Saka atau 28 Nopember 760 Masehi). Yang secara ringkasnya, prasasti ini mengisahkan tentang seorang raja yang sangat bijak sana bernama Dewasinga. Dewasinga memiliki  anak bernama raja Gajayana. Prasasti ini di buatnya untuk Sang Resi Agung (maharsibhawana) dengan sebutan Walahajiridyah, dan diresmikan arca Agastya yang baru di buat dari batu hitam yang indah sebagai pengganti dari arca yang lama yang terbuat dari kayu cendana yang melapuk.
Penamaan Candi Badut di berikan oleh Dr. Brandes dan Dr.V.D.K. Bosch yang di kaitkan dengan Liswa yang tertulis pada garis kedua prasasti Dinoyo. Liswa sendiri merupakan nama lain dari raja Gajayana.
Begitulah sepercik sejarah tentang Candi Badut yang mengubur sejarah yang tidak di ketahui sebagian besar orang. Tetapi sejarah itu memang ada, dibuktikan dengan adanya bangunan Candi Badut itu sendiri. Namun tempat candi tersebut sangat sulit di jangkau karena kurang didukung oleh sarana tranportasi yang memungkinkan masuk pada lokasi candi tersebut. Kami menuju lokasi dengan menggunakan sepeda motor. Dan harus berkali-kali berhenti untuk bertanya kepada orang tentang letak lokasi candi tersebut.
Bangunan Candi Badut itu memiliki ukuran dan bentuk yang dapat kita ketahui secara langsung dari bangunannya. Candi yang berbentuk persegi ini memiliki ukuran 7,50 x 7,40 meter, tinggi 3,62 meter. Bingkai bawah polos, Padma, dan setengah bundaran. Struktur candi masih tampak baik meski di sisi timur dan selatan tiap sisinya terdapa relung, di sisi barat terdapat pintu masuk dengan penampil. Kanan kiri terdapat relung lebih kecil. Penampil dan relung tersebut dihiasi kala tanpa rahang bawah. Bingkai penampil di hiasi sulur di bawahnya terdapat sepasang makara yang di kombinasikan dengan sulur-suluran. Ambang pintu dan penahan dengan penyanggah besi. Ruang garbhagraha berukuran 3,45 x 3,45 meter berisi yoli.
Atap candi telah rusak, bentuk lengkapnya tidak dapat di kenali, dari sisi struktur yang terdapat saat ini yang tersisa sebanyak lima lapis pada pada sebagian barat dan utara. Keadaan struktur  yang tidak lengkap bagian bilik terbuka. Bukan hanya itu saja. Araca-arca yang ada di luar dan dalam candi sudah tidak ada, tersisa satu arca yang masih ada pada sisi kanan Candi, itupun bentuknya sudah tidak dapat dikenali. Kepala arca tersebut hilang. Bahkan prasasti yang ada di sebelah kanan luar sebagian diganti dengan batu alam supaya menahan prasasti yang masih ada. Juga ada legungan di sekitar taman, entah itu bangun apa, kami tidak mengetahui, sepertinya legungan itu bangunan yang sudah hancur. Hanya tersisa beberapa batu saja.
Di pinggir-pinggir taman candi tersebut banyak tumpukan-tumpukan batuan dari runtuhan candi tersebut. Tumpukan batuan dari bangunan tersebut tidak boleh dipindah-pindah atau di rubah susunannya sesuai dengan pasal 15 Undang-Undang No.5 Tahun. 1992 yang undang-undang ini terdapat di pinggir pos penjagaan. Berbunyi dari pasal itu, “ Dilarang merusak, mengambil atau memindahkan, mengubah bentuk, dan pemisahan bagian kelompok, dan kesatuan benda cagar budaya yang berada di dalam situs dan lingkungan”.
Papan nama Candi badut pun sudah dimakan rayap. Cet warna biru sudah pudar seperti tak tampak lagi bahwa itu tulisan “Candi Badut”, yang terpaku di pos penjagaan. Dan pos itu hanya ada satu orang penjaga yang dengan santunnya dia menyambut tamu yang datang. Tetapi pada saat itu, penjaga pos pergi hingga saya tidak bisa bertanya banyak tentang sejarah dan kenapa ada tumpukan-tumpukan batu di sekitar taman.
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa tempat bersejarah sudah tidak ditoleh orang-orang,  kususnya masyarakat dan pemerintah itu setempat, yang memang pada dasarnya mereka bukan pelaku sejarah. Tetapi, melihat dari keadaan candi yang sudah hampir tidak dikenali dan tidak diketahui ini. Pemerintah seharusnya memperhatikan dengan betul tempat bersejarah itu. Karena sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap tempat bersejarah. Begitu pun masyarakat yang dekat dengan candi itu, seakan-akan mereka pura tidak mengetahui akan candi tersebut. Padahal seharusnya mereka lebih peka dari pemerintah.
Dengan persaingan yang terus berkompetisi, Mayoritas masyarakat umum lebih cendrung mempusatkan perhatiannya terhadap tempat berlibur atau pariwisata yang sudah sangat modern. Masyarakat lebih memilih pariwisata yang hanya mengedepankan unsur kesenangan semata, tanpa memperhatikan aspek lainnya yang seharusnya lebih di perhatikan seperti bangunan bersejarah ini dan tempat lainnya yang berkaitan dengan sejarah.
Pemerintah adalah badan yang seharusnya melindungi dan melestarikan kebudayaan bangsa ataupun keindahan tempat bersejarah memilih mengembangkang tempat- tepat pariwisata yang tidak memiliki hubungan dengan kebudayaan bangsa daerah tersebut dan tidak mempromosikan tempat bersejarah seperti halnya Candi Badut ini. Sehingga dengan sendirinya masyarakat Indonesia lupa akan sebuah sejarah yang telah ada di negaranya. Atau bahkan anak cucu mereka tidak akan mengenal sejarah perjuangan nenek moyang mereka.
Di zaman yang bersaing dalam bidang IPTEK, tidak di manfaatkan untuk mengembangkan dan melestarikan sejarah yang telah lampau. Pada hakikanya hal itu sangat mungkin di lakukan. Dengan mengadakan seminar sejarah kebudayaan daerah atau Negara tersebut melalui internet atau kemajuan IPTEK lainnya.
Oleh karena itu, selayaknya masyarakat sekitar dan pemerintah lebih perhatian hal-hal yang berhubungan dengan kebudayaan daerahnya. Bukan malah meninggalkan sejarah yang berperan penting akan kebebasan dan kemajuan Negara tersebut. Kenalkan tempat bersejarah itu pada regenerasi yang akan menyongsong hari yang lupa dengan sejarah menuju hari di mana sejarah menjadi sumber semangat diri oleh semua warga negara.

Comments

Popular posts from this blog

Radio Di Zaman Kekinian

Bahasa Dunia