Perempuan & Karya Sastra
Wanita atau perempuan?. Entahlah!. Keduanya sama pemegang kunci surga bagiku. Siapapun pasti sudah mengerti tentang ungkapan itu. Namun dalam pembahasan ini kita sepakati menggunakan "perempuan". Ok.
Sejenak nostalgia masa jahiliyah.
Kaum perempuan pra-Islam datang tidak lebih sebuah kibulan saja pagi kaum lelaki. Di hargai laiknya sebuah barang yang cukup murah bahkan tak berharga. Ini terjadi dalam kalangan masyarakat menengah.
Sedangkan di kalangan bangsawan, perempuan bagaikan tuan raja yang sangat dihormati dan menjadi rebutan. Tak jarang antara bangsawannya harus saling melepas sarung pedang untuk mendapatkan perempuan impiannya.
Disamping itu, bahwa perempuan memperlamban perjalanan (0rang badui yang suka bepindah-pindah), menjadi sumber bertambahnya jumlah anggota, yang serba kekurangan bahan makanan untuk hidup, serta menjadi hinaan bagi kelompok mereka, ketika kalah berperang kemudian para perempuan menjadi hak musuh yang menang. Dari beberapa alasan inilah, mereka (orang jahiliyah) berani membunuh dan mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Ini dalih masyarakat menengah.
Lalu islam datang dengan membawa kunci untuk melepaskan kaum perempuan dari tirani kejahiliyahan, baik itu kekerasan, pelecehan, dan segala bentuk perendahan terhadap kaum perempuan, secara perlahan.
Namun, tak sepenuhnya kaum perempuan bebas melakukan apapun yang setara dengan kaum laki-laki. Tidak. Sejalan dengan kemajuan IPTEK, para perempuan menuntut kesamaan peran dalam kehidupan sosial. Mereka juga ingin duduk bersampingan dan bersaing dengan kaum lelaki seperti bekerja, memimpin, mengelola, dll.
Namun bagaimana untuk mewujudkan hal itu?. Nah. di sini sastra sebagai salah satu alat untuk mengembori kesetaraan itu dengan menceritakan kisah fiktif atau non-fiktif dengan mengangkat citra perempuan di karya sastra tersebut.
Alat itu benar-benar dimanfaatkan oleh Nawal al-Sadawi -penulis novel mesir yang mempelopori faham femenisme- dengan karyanya yang kebanyakan mengangkat kisah seirang perempuan. Seperti Novelnya yang berjudul "Perempuan di Titik Nol"terjemahan dari "Al-Imroah Fi Nuqthoh Sifir". Dalam karya ini menceritakan seorang pelacur yang sukses dan pekerjaan itu kaum lelakilah yang menciptakan. Bahkan dikatakan juga, bahwa semua laki-laki dari semua propesi adala penjahat-lebih detailnya silahkan baca sendiri.
Nawal diberhetikan dari jabatannya sebagai pimpinan pendidikan kesehatan dan majalah healty lantaran pemikirannya yang bertolak dengan pemerintahan. Ada juga beberapa karyanya yang tidak diterbitkan di Mesir sehingga diterbitkan di Libanon. Bahkan Nawal sendiri pernah dipenjara, ya karena pemikiran femenisnya itu. Walaupun femenis sendiri sudah dilakukan dulu jauh sebelum itu, yang kisahnya pada 1001 malam, tentang pembelaan perempuan yang dibunuh seorang raja. Kalau di Indonesia cerita yang masyhur ialah Siti Nurbaya.
Dari itu, bahwa karya satra pernah diperankan sebagai alat untuk mengenalkan kesamaan gender, dan kalau berbicara kontek saat ini, bisa kita lihat kesetaraan gender sudah biasa dalam sosialnya. Namun bagi saya, tetap ada hak laki-laki yang tidak bisa disetarakan dengan kaum perempuan, khususnya dalam agama Islam.
Karena beda lalu ingin sama. Karena beda lalu tak mau sama. Kadang yang sama malah ingin beda. Maka aku beda dan kau beda, mungkin saja ada yang sama. Wallahua'lam.
Comments
Post a Comment